Minggu, 27 November 2016

Moralitas dan Etika

Moralitas dalam beberapa hal sangat mirip dengan hukum dalam sebuah negara, hukum yang dibuat oleh legislator dan ditaati atau rusak oleh subjek atau warga negara. Seperti hukum dalam sebuah negara, moralitas harus dianggap sebagai pedoman jika ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi kerentanan manusia. Hukum dalam suatu negara didukung oleh adanya hukuman yang memaksa, tetapi banyak orang akan mematuhi hukum karena mereka memiliki moralitas sebagai kehormatannya. Aturan moralitas - jika dipahami dengan cara ini - juga harus dilihat, seperti undang-undang. Aturan-aturan ini belum diputuskan dan dikeluarkan oleh manusia sebagai pembuat undang-undang. Mungkin undang-undang telah diterbitkan oleh Tuhan secara alami (tidak ada dalam argumen ini menghalangi itu) dan didukung oleh sanksi dari jenis yang berbeda. Mungkin mereka tidak memiliki pembuat undang-undang tapi masih dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu khusus yang sesuai dengan persyaratan hukum. Jika aturan diakui dan diambil cukup serius maka dapat memiliki efek dalam bermasyarakat, apa pun sumbernya.
Beberapa konsepsi seperti moralitas adalah aspek luas dari etika lingkungan di mana banyak manusia yang hidup. Tapi itu mungkin tidak menangkap seluruh pemahaman kebanyakan orang moralitas. Apa yang kadang-kadang disebut 'moralitas dalam arti sempit' adalah seperangkat kendala yang diakui secara sosial mengenai suatu perilaku, di mana kendala yang mereka ambil cukup serius karena menyebabkan beberapa efek untuk melindungi orang-orang dalam kerentanan mereka terhadap setiap orang. Pentingnya moralitas dalam arti sempit ini, dan juga sejauh mana ia memiliki kemiripan dengan hukum, ditandai dengan kosakata khusus yang telah dikembangkan di sekitarnya. Dalam bahasa Inggris, kosakata ini termasuk gagasan seperti tugas, kewajiban, hukum moral, (moral) yang tepat, (moral) yang salah, dan (cukup baru-baru ini dalam sejarah manusia) hak moral atau hak asasi manusia.
Jelas sudah bahwa adanya banyak konsepsi orang lain dari etika lingkungan tentang moralitas dalam arti sempit ini. Ketika Anda memikirkan unsur-unsur lain yang merupakan bagian dari etika lingkungan  kita, Anda mungkin ingin memberikan beberapa masukan, atau bahkan semua elemen dalam pemahaman Anda mengenai moralitas dalam arti yang lebih luas. Di sisi lain, Anda mungkin akan menemukan bahwa beberapa aspek dari etika lingkungan tampaknya bukan menjadi bagian dari moralitas Anda sama sekali. Beberapa filsuf (termasuk Williams 1985) membuat perbedaan antara moralitas (dalam arti yang cukup sempit tentang apa yang kita butuhkan satu sama lain) dan etika, yang mencakup seluruh bidang evaluasi yang berkaitan dengan bagaimana kita harus menjalani hidup kita. Meskipun ini merupakan perbedaan yang bermanfaat, moralitas ataupun etika bukan salah satu yang konsisten yang digunakan oleh kalangan umum. Moralitas atau etika berguna untuk menetapkan batas yang tepat di sekitar moralitas; titik penting di sini adalah bahwa dalam mengeksplorasi apa yang terlibat dalam etika lingkungan, kita harus melampaui gagasan moralitas dalam arti sempit, yaitu hanya sebagai seperangkat norma yang membatasi perilaku kita.

Referensi:
Haydon, Graham. 2006. Education, Philosphy And The Ethical Environment. New York: Routledge (e-book, hlm: 29-39).




Etika Manusia

Titik awal yang baik akan menimbulkan sedikit perbedaan yang tidak bisa dielakkan tentang manusia. Ini berdasarkan pengamatan tentang seperti apa manusia, bukan tentang bagaimana manusia menjadi seperti ini atau mengapa. Jadi manusia itu harus hidup rukun, misalnya, dengan teori naturalistik yang mengungkapkan bahwa manusia itu ada karena manusia berevolusi seperti yang mereka lakukan, dan dengan teori teologis yang mengungkapkan bahwa ada rencana Tuhan di balik sifat manusia. Tentu saja, fakta dari kedua teori teologis dan naturalistik dapat menunjukkan tentang sifat manusia (dan banyak orang berpikir bahwa ini adalah sifat harmonis, tapi beberapa tidak) sifat sendiri merupakan fitur penting dari etika lingkungan kita. Tapi itu adalah poin untuk nanti.
Manusia adalah makhluk sosial. Bagi banyak orang, kepuasan hidup didapat dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain, sering tergantung pada orang lain. Manusia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa masing-masing. Manusia sejak zaman kuno disebut makhluk rasional. Itu berarti, mereka selalu berpikir atau bertindak rasional daripada tidak rasional, tetapi mereka memiliki batasan tertentu untuk berpikir tentang apa yang mereka lakukan, untuk membuat keputusan daripada berperilaku secara naluriah. Dan mereka sadar bahwa mereka dapat mengikuti aturan, dan sadar akan hak mereka. Manusia juga merasakan. Manusia peduli tentang apa yang terjadi; mereka dapat pengalaman yang berarti untuk mereka (mereka bahkan dapat menjadi rasional). Manusia memiliki masa depan, dan dapat mencapai tujuannya. Dan manusia itu sangat rentan. Manusia dapat rusak dan dapat menderita secara fisik dan terluka secara emosional.
Blackburn (2001: 4) mengatakan bahwa manusia juga makhluk sosial. Nyatanya, jika semua manusia membuat kebenaran, mereka mungkin akan menjadi makhluk sosial secara mutlak. Artinya, mereka dapat  mengevaluasi: mereka menyukai beberapa hal dan tidak menyukai hal-hal lain; mereka kadang-kadang senang dan kadang-kadang kecewa; mereka memikirkan hal yang mempunyai tujuan dan hal-hal lain yang lebih baik dihindari; mereka pikir hidup mereka kadang-kadang berjalan dengan baik dan kadang-kadang akan buruk. Pada setiap kesempatan mereka akan merespons positif atau negatif suatu kejadian. Semua evaluasi ini terjadi dalam konteks komunikasi; kita bisa mengevaluasi cara berkomunikasi kita kepada orang lain, termasuk mengevaluasi tindakan mereka, dan kita akan dipengaruhi oleh evaluasi mereka. (Mungkin hal ini tidak sejalan dengan berbagai orang tepilih, tetapi hal ini sepadan dengan selera orang secara umum, yang tidak terbatas pada pakaian atau musik, dengan menunjukkan apa yang kita suka akan terbebas jauh dari pengaruh.) Jika ada manusia yang rasional tapi atomistik yang dapat mengevaluasi hal-hal tetapi tanpa adanya bakat sosial dan tidak ada komunikasi, mereka tidak akan bisa hidup beretika di lingkungannya; tapi sebagai manusia harus kita lakukan.

Referensi:
Haydon, Graham. 2006. Education, Philosphy And The Ethical Environment. New York: Routledge (e-book, hlm: 29-39).



Jalinan Filsafat dan Agama

Terdapat beberapa asumsi terkait dengan jalinan filsafat dengan agama. Asumsi tersebut didasarkan pada anggapan manusia sebagai makhluk social. Saifullah memberikan ikhtisar dalam bagan yang lebih terperinci mengenai perbandingan jalinan agama dan filsafat.
Berikut perbandingan antara agama dan filsafat:
Agama
  • Agama adalah unsur mutlak dan sumber kebudayaan.
  • Agama adalah ciptaan Tuhan.
  • Agama adalah sumber-sumber asumsi dari filsafat dan ilmu pengetahuan (science).
  • Agama mendahulukan kepercayan dari pada pemikiran.
  • Agama mempercayai akan adanya kebenaran dan khayalan dogma-dogma agama.

Filsafat
  • Filsafat adalah salah satu unsure kebudayaan.
  • Filsafat adalah hasil spekulasi manusia.
  • Filsafat menguji asumsi-asumsi science, dan science mulai dari asumsi tertentu.
  • Filsafat mempercayakan sepenuhnya kekuatan daya pemikiran.
  • Filsafat tidak mengakui dogma-dogma agama sebagai kenyataan tentang kebenaran.

Dengan demikian terlihat bahwa peran agama dalam meluruskan filsafat yang spekulatif terhadap kebenaran mutlak yang terdapat dalam agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama adalah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan pemikiran yang kritis dan logis.

Referensi:
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara


Jalinan Filsafat dan Ilmu

Antara filsafat dan ilmu mempunyai persamaan, dalam hal bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan kegiatan pikiran manusia, yaitu berfikir filosofis, spkulatif dan empiris ilmiah. Namun ke-eksakan pengetahuan filsafat tidak mungkin diuji seperti pengetahuan ilmu. Yang pertama tersusun dari hasil riset dan eksperimen antara ilmu dan filsafat juga mempunyai perbedaan, terutama untuk filsafat menuntukan tujuan hidup sedangkan ilmu menentukan sarana untuk hidup. Filsafat disebut sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Hal ini didasarkan pada perbedaan berikut ini:
  1. Mengenai lapangan pembahasan
  2. Mengenai tujuannya
  3. Mengenai cara pembahasannya
  4. Mengenai kesimpulannya

                    Persamaan
Antara ilmu, filsafat dan agama ketiganya mempunyai tujuan yang sama yaitu memperoleh kebenaran. Walaupun dalam mencari kebenaran tersebut baik ilmu, filsafat maupun agama mempunyai caranya sendiri-sendiri.
Ilmu dengan metodenya mencari kebenaran tentang alam, termasuk manusia dan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Filsafat dengan wataknya menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia yang tidak dapat dijawab oleh ilmu. Sedangkan agama dengan kepribadiannya memberikan persoalan atas segala persoalan yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia maupun tentang tuhan. 
Perbedaan
Filsafat adalah induk pengetahuan, filsafat adalah teori tentang kebenaran. Filsafat mengedepankan rasionalitas, pondasi dari segala macam disiplin ilmu yang ada. Filsafat juga bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menualangkan (mengelanakan atau mengembarakan) akal-budi secara radikal dan integral serta universal.
Agama lahir sebagai pedoman dan panduan. Agama lahir tidak didasari dengan riset, rasis atau uji coba. Melainkan lahir dari proses peciptaan zat yang berada diluar jangkauan manusia. Kebenaran agama bersifat mutlak, karena agama diturunkan Dzat yang maha besar, maha mutlak, dan maha sempurna yaitu Allah.
Ilmu pengetahuan adalah suatu hal yang dipelopori oleh akal sehat, ilmiah, empiris dan logis. Ilmu adalah cabang pengetahuan yang bekembang pesat dari waktu kewaktu. Segala sesuatu yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta dapat dipertanggung jawabkan dengan bukti yang konkret.
Ilmu dan filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman. 
Titik Singgung
Baik ilmu, filsafat, dan agama ketiganya saling melengkapi. Karena tidak semua masalah yang ada didunia ini dapat diselesaikan oleh ilmu. Karena ilmu terbatas, terbatas oleh subjeknya, oleh objeknya maupun metodologinya. Sehingga masalah tersebut diselesaikan oleh filsafat karena filsafat bersifat spekulatif dan juga alternative.
Agama memberi jawaban tentang banyak soal asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu, yang dipertanyakan namun tidak terjawab bulat oleh filsafat. Namun ada juga masalah yang tidak dapat dijawab oleh agama melain kan dijawab oleh ilmu.

Referensi:
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara


Seperti Apakah Kehidupan yang Baik?

Pertanyaan yang sering filsuf ajukan “seperti apakah kehidupan yang baik?” telah menjadi diskusi filsuf yang penting dalam pendidikan baru-baru ini, karena kebanyakan bagi para filsuf tentang pendidikan (e.g White 1990, 2002; Brighouse 2006) yang merupakan tujuan utama suatu pendidikan adalah kehidupan yang baik, perkembangan dari seseorang. Pada saat yang sama mungkin sulit untuk mengatakan bahwa sebuah kehidupan yang baik bagi seseorang terjadi tanpa adanya pengaruh dari lingkungan masyarakat dimana ia hidup, mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Banyak penilaian yang kami lakukan atau buat tentang masyarakat atau urusan sosial negara. Suatu masyarakat mungkin hanya masyarakat biasa, atau juga memerintah, atau otoriter, atau anarkis, dan sebagainya. Dilihat dari apa itu masyarakat yang baik barangkali dapat menyalurkan pemikirannya tentang tujuan pendidikan, karena pendidikan boleh jadi tujuannya untuk masyarakat dan juga sebagai individu ( point ini dapat di balikan ke bab berikutnya). Jika kita memulai gagasan dari manusia sebagai makhluk sosial, kita harus menambahkan bahwa manusia bukan makhluk sosial saja namun mereka adalah mahkluk politik (kembali ke Aristoteles). Artinya, mereka cakap, rasional, kemampuan dalam komunikatif dan kooperatif, dengan begitu organisasi menjadi urusan mereka. Dalam penegertian ini sebagian besar dari aktivitas manusia seperti menilai, menyarankan, kritik, dan sebagainya merupakan kegiatan politik.
Kita menilai tindakan, kita menilai urusan negara, dan kami juga menilai orang. Dalam hal ini kita bukan hanya menilai yang dasar-baik dan buruk-tentang orang juga tentang tindakan dan urusan negara, tetapi kami memiliki beragam kata untuk menilai atau menggambarkan kualitas seseorang dalam cara menerima atau menolak. Contohnya dalam Bahasa Inggris seperti ‘Kind’, ‘generous’, ‘fair-minded’, ‘mean’, ‘self-centred’,’callous’ dan masih banyak lagi. Seperti kualitas, ketika mereka melihat yang diinginkannya, ada istilah kuno menyatakan, yang telah dibangkitkan kembali oleh filsuf beberapa tahun terakhir. Istilah itu ialah ‘virtues’ (istilah itu juga sering merujuk ke ‘vices’, meskipun begitu istilah itu memiliki makna yang berbeda pada Bahasa Inggris). Meskipun kata “virtues’ saat ini tidak menjadi bagian yang menonjol dalam lingkungan hidup yang layak kebanyakan dari kita, berbagai pengertian yang kita miliki tentang kualitas yang diinginkan dan mengagumkan yang lain tentunya. Kita dapat berpikir tentang kualitas yang diinginkan adalah kita mungkin menginginkan diri kita berkulitas, dan tentang kualitas dimana kita berharap untuk melihat orang lain(anak-anak kita sendiri berkualitas). Maka kualitas adalah sesuatu yang seringnya rumit, melibatkan persepsi, perasaan, motivasi dan tindakan. Misalkan kita berharap bahwa anak akan berubah menjadi baik terhadap yang lain: kita ingin melihat anak untuk bertanggung jawab ketika marah atau menyakiti orang lain; peduli dengan yang lain; suka membantu; dan benar-benar membantu setidaknya banyak melakukan sesuatu untuk membantu Acara. Sesuatu yang mungkin kurang, tidak memiliki keutamaan dalam kebaikan, tapi hanya untuk menghargai yang telah diucapkan sebagai ide dari kebaikan.
Referensi:
Haydon, Graham. 2006. Education, Philosphy And The Ethical Environment. New York: Routledge (e-book, hlm: 29-39).


Aturan atau Tanggung Jawab?

Apa yang kita benar-benar lakukan dalam situasi di mana aturan atau persoalan tanggung jawab? Kita cenderung untuk melibatkan beberapa faktor, baik melampaui aturan yang kita anggap terlibat. Ini mungkin, misalnya, pertimbangan tentang kesetiaan kepada seorang teman, tentang kejujuran, tentang kepercayaan. Pertimbangan tersebut tidak sendiri berfungsi sebagai aturan. Kita dapat merumuskan resep seperti 'setia', 'jujur', dan sebagainya, tapi resep seperti ini tidak memberi petunjuk jenis bimbingan yang dapat kita harapkan  dari aturan. Pengertian terlibat sekarang adalah banyak pertimbangan yang lebih luas yang  dapat kita perhitungkan. Kita bisa merujuk pada pertimbangan-pertimbangan ini lebih luas sebagai prinsip daripada aturan. (Ini adalah perbedaan lainnya, dimana aturan memberitahu Anda apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan dengan sedikit sikap untuk interpretasi, sedangkan prinsip-prinsip pertimbangan Anda harus memperhitungkan yang meninggalkan ruang lebih besar untuk interpretasi (Haydon 1999: 93; 107).
Tetapi perbedaan akan menjadi salah satu derajat. Atau mungkin kita hanya merujuk kepada pertimbangan seperti 'setia' dan 'kejujuran' sebagai nilai-nilai. Tentu saja, ketika kita memutuskan apa yang tidak harus selalu kita coba, untuk mengikuti aturan moral atau prinsip-prinsip yang lebih luas. Kadang-kadang kita dapat mengikuti preferensi kita sendiri (yang mungkin telah merujuk kepada orang lain, dan mungkin terbentuk sebagai hasil dari lingkungan kita). Kadang-kadang kita dapat bertindak keluar dari perhatian dan peduli terhadap orang lain, karena kesejahteraan orang lain (beberapa orang lain, setidaknya) penting bagi kami. Seringkali itu adalah kenyataan bahwa kita peduli apa yang terjadi kepada orang lain yang membuat keputusan kita sulit.
  Satu hal yang bisa kita lakukan dalam situasi di mana tidak ada panduan yang jelas yang bisa didapat dari berpikir dalam aturan moral adalah untuk melihat konsekuensi dari tindakan satu atau yang lain. Orang kadang berpikir bahwa moralitas harus lebih dari masalah mencoba untuk melakukan apa yang akan memiliki konsekuensi yang terbaik; dan mereka mungkin cukup tepat untuk berpikir bahwa Kadang-kadang anda menyadari bahwa Anda memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu, atau mengakui bahwa orang lain memiliki hak sesuatu dari Anda, berarti Anda mengakui bahwa apa yang harus Anda lakukan sudah diselesaikan tanpa konsekuensi (yang merupakan bagian dari jalan yang pengertian seperti 'kewajiban' dan fungsi 'hak'). Tetapi di mana tidak ada pertimbangan seperti menyelesaikan persoalan terlebih dahulu, sering satu-satunya langkah yang baik untuk dilakukan adalah melihat akibat-akibat dari bertindak dalam satu arah daripada yang lain. Tentu saja, akibat-akibat sendiri harus dibandingkan dan dievaluasi. Yang membawa kita ke bidang evaluasi, di mana kita harus mengevaluasi keadaan. Sebuah keputusan antara melakukan satu hal dan melakukan yang lain, di mana salah satu tindakan itu akan membuat perbedaan untuk orang lain, adalah keputusan antara dua keadaan: situasi yang kita pikir akan hasil dari satu tindakan dan situasi yang kita pikirkan akan menghasilkan dari yang lain. orang yang berbeda dapat membuat keputusan yang berbeda dalam dua situasi. Bagaimana kita membandingkan situasi? Beberapa filsuf berpikir bahwa itu selalu, setidaknya dalam teori, mungkin untuk membuat perbandingan dalam hal kebahagiaan, sehingga kita harus melakukan apa yang akan menaikkan tingkat terbesar kebahagiaan dicapai.


TIGA ASPEK PENGETAHUAN

Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut? Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana caranya?
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri apa? Kriterianya apa saja?
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek (sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak pada objeknya, sedangkan metodenya sama.


Kesenjangan Antara Kebenaran dan Fakta

Di zaman dahulu, nilai-nilai kebenaran sangat dijunjung tinggi oleh para orang tua, pendidik, ulama dan anggota masyarakat dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Prinsip satu kata dengan perbuatan atau prilaku masih terwujud dalam fakta yang dapat diamati. Sebagai contoh, keluarga kaum ulama pada zaman dahulu masih konsisten dalam menjalankan ajaran agama Islam tentang etika bergaul antara pria dan wanita, etika tata cara berpakaian menurut Islam bagi kaum pria dan wanita, serta etika-etika lainnya yang semuanya telah diatur dalam Alquran dan Alhadist. Ajaran-ajaran dalam Islam tersebut merupakan suatu kebaikan dan kebenaran yang sifatnya mutlak. Karena itu, tata cara bergaul antara pria dan wanita serta tata cara berpakaian antara pria dan wanita Islam di zaman praglobalisasi penuh dengan nilai-nilai serta etika tentang sopan santun. Fenomena ini terwujud dalam fakta di masyarakat yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, di era globalisasi, nilai- nilai kebenaran khususnya kebenaran etika bergaul dan berpakaian antara pria dan wanita menurut Islam sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian anggota masyarakat remaja yang terwujud dalam fakta. Sebagai contoh ajaran islam ‘larangan mendekati zina’ sebagai suatu ajaran yang mengandung nilai kebenaran mutlak, kini telah ditinggalkan oleh sebagian remaja yang berpola pikir kebarat-baratan. Islam juga mengajarkan nilai sopan santun yang mengandung nilai kebenaran tentang keharusan kaum wanita untuk menutup aurat, namun dalam faktanya, sebagian remaja kita telah menganggap ajaran itu tidak benar atau kuno, sehingga mereka berpakaian sangat seksi.Karena itu dapat disimpulkan bahwa nilai kebenaran agama mengalami krisis dan kesenjangan dengan kenyataan atau fakta yang diamati dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Referensi:
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara


SUMBER PENGETAHUAN (Hati atau Intuisi)

Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.



SUMBER PENGETAHUAN (Indera dan Akal)

Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.

Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu.

Fungsi dan Manfaat Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni:
  1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
  2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
  3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
  4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
  5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)

Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
Cara kerja filsafat ilmu memiliki pola dan model-model yang spesifik dalam menggali dan meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan. Di dalamnya mencakup paham tentang kepastian , kebenaran, dan obyektifitas. Cara kerjanya bertitik tolak pada gejala – gejala pengetahuan mengadakan reduksi ke arah intuisi para ilmuwan, sehingga kegiatan ilmu – ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan kekhasannya masing-masing disinilah akhirnya kita dapat mengerti fungsi dari filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni:
  1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
  2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
  3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
  4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
  5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.

Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah:
  1. Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
  2. Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan
  3. Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
  4. Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
  5. Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid        
  6. Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)


Referensi:
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara



Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu . Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.


KEBENARAN

Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.

Referensi:
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara


SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT (Masa Kini: Suatu Peneguhan Ilmu Yang Otonom)



Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya lebih tertentu. Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih bebas dari corak spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi.
Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak bisa dilewatkan adalah positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap/fase, yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis, dan (3) Positif-ilmiah. Bagi era manusia dewasa (modern) ini pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat, luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa itu ilmu-ilmu alam (Natural sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”, sehingga banyak pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang diambil-oper oleh ilmu-ilmu sosial (Social sciences) yang berkembang sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya : “Strukturalisme” dan “Postmodernisme”. Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog (ataupun dari kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan, teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan keilmuan/ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan research). Demikian pula hal ada dan keberadaan (ontologi/metafisika) suatu ilmu /sain berkaitan dengan watak dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu /sain dan kegunaan/manfaat atau implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi bahasan dalam filsafat ilmu. Setidak-tidaknya hasil pembahasan kefilsafatan tentang ilmu (Filsafat Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis bagi ilmu /sain dengan mempersoalkan kembali apa itu:pengetahuan?, kebenaran?, metode ilmiah/keilmuan?, pengujian/verifikasi? dan sebaliknya hasil-hasil terkini dari ilmu /sain dan penerapannya dapat memberikan umpan-balik bagi Filsafat Ilmu sebagai bahan refleksi kritis dalam pokok bahasannya (survey of sciences) sebagaimana yang dikemukakan oleh Whitehead dalam bukunya Science and the Modern World (dalam Hamersma, 1981:48)
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang memberi warna dan menjadi “semangat zaman” (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)
Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau “tradisional” yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.
Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu terapan” yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis “simbiose mutualistis” antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.
Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm (diakronik dan/atau sinkronik). Untuk Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir, substansinya seluruh spektrum pendidikan yang secara temporal pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan pendidikan dengan politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan penyusunan dan perubahan kurikulum dengan segala aspeknya yang menyertainya; lembaga-lembaga pendidikan (pemerintah maupun swasta); pendidikan formal dan non-formal; pendidikan umum, khusus dan agama. Singkatnya segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan di Indonesia dahulu dan sekarang dan melihat prosepeknya ke masa depan. Sejarah sebagai kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk melihat prosepek ke depan meskipun tidak punya pretensi meramal. Dalam setiap bahasan dicoba dilihat filosofi yang melatarinya.