Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan
pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar:
rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah
yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan
belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan
aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya lebih tertentu.
Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih bebas dari corak
spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara laian:
positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme,
neo-tomisme dan fenomenologi.
Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran
yang tidak bisa dilewatkan adalah positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte
(1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia dapat dibagi kedalam tiga
tahap/fase, yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis, dan (3) Positif-ilmiah.
Bagi era manusia dewasa (modern) ini pengetahuan hanya mungkin dengan
menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar
secara ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran
yang jelas dan pasti sebagaimana berat, luas dan isi suatu benda. Dengan
demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh karena itu ilmu sosial
yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum dikenal
sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa itu ilmu-ilmu
alam (Natural sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”, sehingga banyak
pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang diambil-oper oleh ilmu-ilmu
sosial (Social sciences) yang berkembang sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran
sebagaimana disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya :
“Strukturalisme” dan “Postmodernisme”. Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya
misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh
Postmodernisme antara lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog
(ataupun dari kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian,
struktur ilmu pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap
(dilengkapi dengan, teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang
dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in
Sociology. Dari struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa
kegiatan keilmuan/ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan
research). Demikian pula hal ada dan keberadaan (ontologi/metafisika) suatu
ilmu /sain berkaitan dengan watak dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu /sain
dan kegunaan/manfaat atau implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi bahasan
dalam filsafat ilmu. Setidak-tidaknya hasil pembahasan kefilsafatan tentang
ilmu (Filsafat Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis bagi ilmu /sain dengan
mempersoalkan kembali apa itu:pengetahuan?, kebenaran?, metode
ilmiah/keilmuan?, pengujian/verifikasi? dan sebaliknya hasil-hasil terkini dari
ilmu /sain dan penerapannya dapat memberikan umpan-balik bagi Filsafat Ilmu
sebagai bahan refleksi kritis dalam pokok bahasannya (survey of sciences)
sebagaimana yang dikemukakan oleh Whitehead dalam bukunya Science and the Modern
World (dalam Hamersma, 1981:48)
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna
filsafat karena pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara
sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai
(systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap
individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu,
atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya
terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam
arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan,
ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan
tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu.
Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka,
pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan
anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai
bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state
formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap
bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang
memberi warna dan menjadi “semangat zaman” (zeitgeist) yang dianut oleh setiap
individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau
pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat
dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika)
pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari
dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk
membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan,
pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap
lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu
bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi
pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim
pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam
hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau
kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan
gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat
kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot,
1972: 193-210)
Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah
pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan
nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada
generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu
sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat
pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai
kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun
industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan
pendekatan lama atau “tradisional” yang umumnya diakronis yang kajiannya
berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan,
atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah
perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985:
2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu
melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam
pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya,
penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai
kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972:
206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat
hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara
pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang
merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari
pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal);
masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif
ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya,
timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak
sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu
pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang
kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak mampu;
komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya
menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih
baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.
Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan
baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan
metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin
dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu
sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi,
dan politik telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu
terapan” yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik
pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal
hubungan dialogis “simbiose mutualistis” antara sejarah dengan ilmu-ilmu
sosial.
Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk
relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian
yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman
Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan
dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis
ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.
Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm
(diakronik dan/atau sinkronik). Untuk Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir,
substansinya seluruh spektrum pendidikan yang secara temporal pernah berlaku
dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan pendidikan dengan
politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan penyusunan dan perubahan
kurikulum dengan segala aspeknya yang menyertainya; lembaga-lembaga pendidikan
(pemerintah maupun swasta); pendidikan formal dan non-formal; pendidikan umum,
khusus dan agama. Singkatnya segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan
di Indonesia dahulu dan sekarang dan melihat prosepeknya ke masa depan. Sejarah
sebagai kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk melihat prosepek ke depan
meskipun tidak punya pretensi meramal. Dalam setiap bahasan dicoba dilihat
filosofi yang melatarinya.