Organ fisik yang
berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada
yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada
praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam
kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak
selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat
santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita
tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main
catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga
ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara
tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya
kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah.
Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan,
lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat
itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut
supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya
berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada
wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan
spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal
ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai
pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich)
atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena),
sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh
apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal
untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi
(meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari
kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya
pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan
langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta,
hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di
pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat
berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan
atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati
sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya
disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas
akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan
mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di
Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada
sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung
dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun
sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam
pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan
hanya nabi yang bisa memerolehnya.
Dalam tradisi
filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan
rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan
kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam
tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme
dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran
yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan
Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai
kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas
intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis
yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada
rasio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar