Belajar filsafat tentunya
tidak asing lagi dengan tokoh Immanuel
Kant, diartikel ini akan membahas mengenai pemikiran Immanuel Kant yang
berupa pertanyaan-pertanyaan kritis. Pemikiran Immanuel Kant mengalami empat
periode perkembangan, yaitu:
- Periode pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz-Wolf, yaitu sampai tahun 1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik.
- Periode kedua berlangsung antara tahun 1760–1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme. Periode ini sering disebut periode empiristik karena dominasi pemikiran empirisme Hume. Karyanya yang muncul dalam periode ini adalah Dream of a Spirit Seer.
- Periode ketiga dimulai dari inaugural disertasinya pada tahun 1770. Periode ini bisa dikenal sebagai periode kritis. Karyanya yang muncul dalam periode ini diantaranya: The Critique of Pure Reason (1781), Prolegomena to any Future Methaphysics (1787), Metaphysical Foundation of Rational Science (1786), Critique of Practical Reason (1788), Critique of Judgment (1790).
- Periode keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode ini Kant mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Karya Kant yang terpenting pada periode keempat adalah Religion within the Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan essei berjudul Eternal Peace (1795).
Pada awalnya Immanuel Kant
memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai
akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Rasionalisme berpendirian bahwa
rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan. Rasionalisme mengira telah
menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas dari
pengalaman. Sedangkan empirisme berpendirian bahwa pengalaman menjadi sumber
pengetahuan. Empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan
dari pengalaman saja.
Menurut Kant, pengenalan manusia
merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori dan unsur-unsur a
posteriori, yaitu unsur rasio/akal dan juga unsur inderawi/pengalaman.
Menurutnya akal murni itu terbatas, menghasilkan pengetahuan tanpa dasar
inderawi atau indepenen dari alat indra.
Hal inilah yang kemudian memicu Immanuel
Kant bersikap kritis untuk menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai
sumber pengetahuan manusia, yang kemudian melahirkan filsafat kritisisme, atau
ada juga yang menyebutnya dengan Kanteisme. Dari sikap kritis Kant itulah
muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya:
- Apa yang dapat saya ketahui?
- Apa yang harus saya lakukan?
- Apa yang boleh saya harapkan?
- Apa itu manusia?
Dari pertanyaan-pertanyaan kritis dalam benak Immanuel Kant seperti yang
telah disebutkan di atas, ia menjawabnya sebagai berikut:
- Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi” (noumenon) saja,
- Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
- Yang bisa diharapkan manusia, ditentukan oleh akal budinya.
- Untuk yang ke empat ini saya akan membahasnya pada artikel selanjutnya tentang “Apa itu Manusia?”
Referensi:
Kebung, konrad. 2011. Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT.
Prestasi Pustakaraya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar