Setelah saya membahas dari mana manusia
sebagai individu atau person berasal, kini saya akan berbicara tentang dari
mana asal manusia sebagai jenis. Sejak kapan manusia muncul sebagai jenis yang
baru? Apakah manusia pertama kali langsung diciptakan oleh Allah? Pendapat ini
cukup lama dipegang oleh orang kristen sebagai satu-satunya pandangan yang
sesuai dengan kiah penciptaan dalam kitab suci. Orang kristen zaman sekarang
sudah tahu bahwa kitab kejadian itu tidak berbicara tentang penciptaan langsung
atau tidak langsung, evolusi atau bukan evolusi. Kitab suci bukan ilmu bumi
atau ilmu hayat. Dalam bentuk cerita kitab suci hendak menyampaikna kepada kita
berbagai kebenaran yang sangat dasariyah untuk manusia yang beragama. Allah
adalah pencipta langit dan bumi. “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (kej
1: -25).
Beberapa filsuf cukup lama mndukung
ciptaan langsung- lebih khusus untuk berbagai fase peralihan- dengan argumen
bahwa yang lebih rendah tidak dapat menghasilkan yang lebih tinggi. Pada zaman
ini baik ilmu maupun filsafat makin sadar bahwa mereka masing-masing mempunyai
keterbatasan dan harus menjaga diri agar tidak melampaui batas kompetensinya.
Kompetensiimu empiris adalah faktum evolusi dan cara evolusi berjala adalah
secara empiris. Evolusi bagi ilmu positif sampai sekarang masih merupakan
hipotesis, tetapi makin umum diterima. Banyak fakta lebih gampang diterangkan
dengan hipotesis evolusi.
Fakta-fakta sampai sekarang hanya
membuktikan suatu hipotesis yang sangat terbatas, misalnya perubahan di dalam
jenis yang sama. Peralihan dari zat mati
ke zat hidup atau peralihan dari jenis satu ke jenis yang lain sulit
dibuktikana dengan fakta. Ada petunjuk
untuk itu. Hal yang sam berlaku juga ntuk evolusi manusia darinsalah satun
jenis binatang. Sebagai fakum evolusi belum terbukti, tetapi sebagai hipotesis
makin umum diterima dalam ilmu hayat.
Benar tidaknya hipotesis evolusi
tersebut itu termasuk kompetensi ilmu positif. Hipotesis ini hanya dapat
dibenarkan dengan fakta. Filsafat tidak memiliki kompetensi dalam hal ini.
Namun, hipotesis evolusi mendorong danmemberi banyak sumbangan untu filsafat,
eksegese kitab suci dan teologi. Orang kristen mulain membaca kitab suci dengan
cara yang baru. para ekseget menemukan di dalam kitab suci berbagai jenis
kesusastraan. Dengan demikian, pandangan atas kitab sucinsemakin diperkaya. Yng
penting ialah jenis sastra dan pesan yang hendak diwartakan oleh pengarang.
Teori atau hipotesis evolusin merangsang kaum filsuf untuk memperdala paham
tentang asas-asas filsafat. Evolusi dilihat sebagai “un folding of being” . para filsuf mulai bertanya apakah hal yang
khas untuk materi dan yang khas untuk makhluk hdup merupakan suatu perbedaan eksklusif atau
lebih merupakan analog yaitu perbedaan dalam suatu kesamaan. Dasar analogi
ialah “ada” dan perbedaan yang berhubungnaj dengan tingkatan ber-“ada”. Dengan
demikian, pandangan atas kehadiran Allah sebagai pencipta juga diperdalam.
Filsafat sadar bahwa evolusi atau tidak evolusi tidak bisa dibenarkan dengan
argumen filosofus. Evolusi sama sekali tidak mengurangi “ketergantungan”
seli]uruh alam pada Alah sebagai pencipta. Filsafat bertugas untuk membawa
cahaya “on the ontological level” . v\nagaimana cara segala sesuatu bersatu dan
berbeda dalam hal “ada”? apa yang dimaksud demngan perbedaan yang berhubungan
dengan hakikatnya (the level of being). Pemahaman baru menjadi tumbuh besar
setelah dibahas perbedaan antara benda dan makhluk hidup, antara makhluk hoidup
dan manusia. Peralihan dari benda ke makhluk lahidup dan dari makhluk hidup ke
manusia bukan suatu tambahan yang serba baru dan eksklusif (addition), yang melainkan peralihan dari
“tingkat ada” yang lebih rendah kepada suatu “tingkat ada” yang lebih tinggi (unfolding of being). Perbedaan tidak
dirumuskan dengan pengertian yang univok, melainkan dengan analog dan
merupakan suatu perbedaan dalam suatu
kesamaan.
Referensi:
Snijders, Adelbert. 2004. Antropolofi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: PT
Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar