Tahap eksistensi manusia yang pertama adalah Tahap
Estetis, pada artikel ini saya akan membahas tahap pertama yaitu tahap estetis,
untuk tahap kedua dan ketiga akana saya bahas pada artikel selanjutnya. Untuk tahap
selanjutnya dapat diakses melalui link pada akhir artikel ini.
Manusia estetis adalah manusia “paling rendah”. Pada
tahap ini orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan
kesenangan yang bersifat badani. Dikuasai oleh naluri seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan
yang hedonistik dan bertindak berdasarkan suasana hati (mood). Manusia estetis adalah manusia yang hidup tanpa jiwa. Ia
tidak memiliki akar dan isi didalam jiwanya. Kemauannya adalah mengikatkan diri
pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Yang menjadi trend dalam masyarakat
menjadi petunjuk hidupnya. Namun
kesemuanya itu tidak dilandasi oleh passion
apapun, selain keinginan untuk mengetahui dan mencoba. Ia cenderung mencari
kesenangan baik materi maupun non materi tanpa peduli sumbernya, memuaskan
nafsu, dan mencari popularitas. Karena nafsu manusia tak terbatas, maka
bila seseorang berada pada tahapan ini, maka bakal tak habis-habis ia bergumul
dengan yang namanya rasa. Semata untuk memuaskan rasa, maka ia tak mengindahkan
panduan hidup ataupun harapan, tidak bias menentukan pilihan karena semakin
banyak alternative yang ditawarkan masyarakat dan zamannya, yang penting nafsu
terpuaskan. Kierkegaard sendiri dengan tegas mengatakan, pilihan bagi manusia
seperti ini adalah ia akan mati bunuh diri (atau, bisa juga lari dalam
kegilaan), atau masuk tahap berikutnya yng lebih tinggi, yaitu Etis.
Contoh sempurna manusia
estetis adalah Don Juan yang hidup dengan berganti-ganti wanita untuk sekedar
memuaskan hasratnya. Menurut Kierkegaard, mungkin begitulah cara manusia
estetis melupakan eksistensinya yang menyedihkan—dengan bersenang-senang,
meluapkan kebutuhan-kebutuhan badani seperti seks, makan, minum, dan tenggelam
dalam hedonisme kehidupan. Menurut Kang Syarif, level manusia paling rendah
dalam agama-agama pun diduduki oleh manusia estetis. Oleh sebab itu, agama
memiliki “latihan-latihan” tersendiri untuk mengendalikan hawa nafsu, misalnya
dengan menjalani puasa. Namun begitu, walaupun sudah seharian menjalani puasa tetapi
ketika datang waktu berbuka kita makan dengan nafsu yang berapi-api,
sesungguhnya pada saat itu kita kembali lagi menjadi manusia estetis.
Referensi:
Abidin, Z. 2014. Filsafat Manusia. Memahami manusia melalu
filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar