Selasa, 13 Desember 2016

Tiga Tahap Eksistensi Manusia (Tahap Etis)



Tahap etis merupakan tahap eksistensi manusia yang kedua, untuk melihat tahap yang pertama silahkan klik disini.
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yan semula estetis menjadi etis. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia mulai menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Pada tahap ini manusia mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri, sudah mulai ada passion dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Ia mulai memiliki pedoman hidup, yang tercermin nyata dalam tingkah lakunya. Masih ada soal rasa, tapi coba ia kuasai dengan logika, akal, nalar, rasio atau apapun namanya. Intinya adalah pengendalian. Rasa dan nafsu tetap ada, namun disesuaikan dengan pedoman hidupnya. Prinsip kesenangan seksual tidak diproyeksikan langsung tetapi melalui pernikahan, ada unsur memuaskan seksual namun ada tujuan lainnya. Pernikahan adalah langkah awal perpindahan dari eksistensi estetis ke eksistensi etis. Hidup manusia etis tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Mencari kekayaan dengan bisnis yang legal. Berusaha meraih popularitas dengan usaha keras dan sabar.
Pada tahapan ini, manusia dapat menolak hal-hal yang tak sesuai dengan pedoman hidupnya. Ia adalah sosok yang sadar akan peran dan otonomi hidupnya, rasio lebih condong digunakan ketika mengalami keraguan, dan konsisten dengan pilihannya tersebut.
  Contoh dari manusia etis adalah Socrates. Pada 399 SM Socrates didakwa “memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum muda”, serta tidak memercayai dewa-dewa yang telah diterima. Para juri menyatakan bahwa Socrates bersalah. Ia pun diberi dua pilihan oleh pengadilan: minum racun lalu mati atau mengakui kesalahannya karena telah menyebarkan paham sesat lalu keluar dari Yunani. Socrates kemudian memilih untuk minum racun karena ia pikir jika ia menghindar untuk menyelamatkan dirinya dan badannya, berarti ia mengingkari hati nuraninya sendiri. Socrates termasuk ke dalam contoh manusia etis karena ia mau “menunda kesenangan—badani—nya untuk sebuah kebahagiaan yang lebih besar”. Menurut Kang Syarif, pada umumnya manusia itu bergerak dari estetis ke etis seiring dengan pertambahan usianya. Semakin ia bertambah dewasa, manusia semakin merasa harus melakukan hal-hal yang sebenarnya “tidak ia sukai”, semata-mata untuk menunaikan tanggung jawabnya.
Tahap ketiga dari tahap eksistensi manusia akan dibahas pada artikel selanjutnya, yang dapat diakses dengan klik satu kali disini.^^

Referensi:
Abidin, Z. 2014.  Filsafat Manusia. Memahami manusia melalu filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar