Tahap etis merupakan tahap eksistensi manusia yang kedua,
untuk melihat tahap yang pertama silahkan klik disini.
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola
hidup yan semula estetis menjadi etis. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang
jauh-jauh dan sekarang ia mulai menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan
yang bersifat universal. Pada tahap ini manusia mulai menerima
kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri, sudah mulai ada passion
dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya
secara bebas. Ia mulai memiliki pedoman hidup, yang tercermin nyata dalam
tingkah lakunya. Masih ada soal rasa, tapi coba ia kuasai dengan logika, akal,
nalar, rasio atau apapun namanya. Intinya adalah pengendalian. Rasa dan nafsu
tetap ada, namun disesuaikan dengan pedoman hidupnya. Prinsip kesenangan
seksual tidak diproyeksikan langsung tetapi melalui pernikahan, ada unsur
memuaskan seksual namun ada tujuan lainnya. Pernikahan adalah langkah awal
perpindahan dari eksistensi estetis ke eksistensi etis. Hidup manusia etis
tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Mencari kekayaan dengan
bisnis yang legal. Berusaha meraih popularitas dengan usaha keras dan sabar.
Pada tahapan ini, manusia dapat menolak hal-hal yang tak
sesuai dengan pedoman hidupnya. Ia adalah sosok yang sadar akan peran dan
otonomi hidupnya, rasio lebih condong digunakan ketika mengalami keraguan, dan
konsisten dengan pilihannya tersebut.
Contoh dari manusia etis adalah Socrates.
Pada 399 SM Socrates didakwa “memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum
muda”, serta tidak memercayai dewa-dewa yang telah diterima. Para juri
menyatakan bahwa Socrates bersalah. Ia pun diberi dua pilihan oleh pengadilan:
minum racun lalu mati atau mengakui kesalahannya karena telah menyebarkan paham
sesat lalu keluar dari Yunani. Socrates kemudian memilih untuk minum racun
karena ia pikir jika ia menghindar untuk menyelamatkan dirinya dan badannya,
berarti ia mengingkari hati nuraninya sendiri. Socrates termasuk ke dalam
contoh manusia etis karena ia mau “menunda kesenangan—badani—nya untuk sebuah
kebahagiaan yang lebih besar”. Menurut Kang Syarif, pada umumnya manusia itu
bergerak dari estetis ke etis seiring dengan pertambahan usianya. Semakin ia
bertambah dewasa, manusia semakin merasa harus melakukan hal-hal yang
sebenarnya “tidak ia sukai”, semata-mata untuk menunaikan tanggung jawabnya.
Tahap ketiga dari tahap eksistensi manusia akan
dibahas pada artikel selanjutnya, yang dapat diakses dengan klik satu kali
disini.^^
Referensi:
Abidin, Z. 2014. Filsafat Manusia. Memahami manusia melalu
filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar