Peradaban Yunani-Romawai mencapai penggenapan siklusnya pada sekitar tahun
1000. Setengah abad berikutnya di Eropa sering disebut Abad Gelap. Di Eropa
Barat yang diperintah bangsa Roma, kebudayaan melek huruf hidup terus hanya di biara-biara.
Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh
raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne. Sebaliknya, dalam kerajaan
Timur yang diperintah oleh Constantinopel, berlangsung suatu masyarakat yang
beradab, walaupun dalam segenap sejarahnya selama 1000 tahun Byzantium hanya
sedikit menghasilkan ilmuwan yang patut dicatat.
Sebagai masyarakat yang baru, suatu bentuk masyarakat yang lebih biadab
sedang terbentuk di Barat. Di awal abad ke-11 sebagian besar orang terpelajar
mengenal dan memahami ilmu kuno dalam cuplikan-cuplikan yang segilintir dan
tercabik-cabik, namun setelah itu terjadi kemajuan pesat. Pada abad ke-12
dialami suatu renaissance yang sebagian di sebabkan oleh pergaulan dengan
peradaban Islam yang lebih tinggi yang terdapat di Spanyol dan Palestina dan
sebagian lagi disebabkan perkembangan berbagai kota dengan kelas atasnya yang
melek huruf. Dari periode ini muncullah karangan-karangan spekulatif perdana
tentang filsafat alamiah. Abad ke-13 menyaksikan berdirinya
universitas-universitas dan zaman kebesaran pengentahuan skolastik.
Pada tahun 1350-an Eropa dilanda oleh bencana ekonomi dan sosial dalam
bentuk keruntuhan finansial dan Maut Hitam (penyakit pes). Pendapat-perndapat
mengenai ilmu di abad tengan simpang-siur. Para sejarawan terdahulu memandang
ilmu dizaman itu, belum terbebaskan dari beban dogmatismedan takhayul,
sementara sejarawan lainnya mencoba menunjukkan bahwa banyak fakta dan prinsip
pokok ilmu modern ditemukan pada waktu itu. Persoalan makin jelas ketika
disadari bahwa orang terpelajar pada zaman itu tidak semuanya mencoba
melaksanakan pemilitian ilmiah seperti yang dipahami sekarang.
Demikianlah di Eropa dalam periode pertumbuhan yang melahirkan peradaban
sekarang ini, ada sesuatu yang dapat disebut ilmu tetapi membutuhkan imajinasi
antropologis untuk memahaminya.
Referensi:
Jerome, Revertz R. 2014. Filsafat Ilmu Sejarah dan Ruang lingkup Bahasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar