Minggu, 04 Desember 2016

Ilmu di Abad Pertengahan

Peradaban Yunani-Romawai mencapai penggenapan siklusnya pada sekitar tahun 1000. Setengah abad berikutnya di Eropa sering disebut Abad Gelap. Di Eropa Barat yang diperintah bangsa Roma, kebudayaan melek huruf hidup terus hanya di biara-biara. Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne. Sebaliknya, dalam kerajaan Timur yang diperintah oleh Constantinopel, berlangsung suatu masyarakat yang beradab, walaupun dalam segenap sejarahnya selama 1000 tahun Byzantium hanya sedikit menghasilkan ilmuwan yang patut dicatat.
Sebagai masyarakat yang baru, suatu bentuk masyarakat yang lebih biadab sedang terbentuk di Barat. Di awal abad ke-11 sebagian besar orang terpelajar mengenal dan memahami ilmu kuno dalam cuplikan-cuplikan yang segilintir dan tercabik-cabik, namun setelah itu terjadi kemajuan pesat. Pada abad ke-12 dialami suatu renaissance yang sebagian di sebabkan oleh pergaulan dengan peradaban Islam yang lebih tinggi yang terdapat di Spanyol dan Palestina dan sebagian lagi disebabkan perkembangan berbagai kota dengan kelas atasnya yang melek huruf. Dari periode ini muncullah karangan-karangan spekulatif perdana tentang filsafat alamiah. Abad ke-13 menyaksikan berdirinya universitas-universitas dan zaman kebesaran pengentahuan skolastik.
Pada tahun 1350-an Eropa dilanda oleh bencana ekonomi dan sosial dalam bentuk keruntuhan finansial dan Maut Hitam (penyakit pes). Pendapat-perndapat mengenai ilmu di abad tengan simpang-siur. Para sejarawan terdahulu memandang ilmu dizaman itu, belum terbebaskan dari beban dogmatismedan takhayul, sementara sejarawan lainnya mencoba menunjukkan bahwa banyak fakta dan prinsip pokok ilmu modern ditemukan pada waktu itu. Persoalan makin jelas ketika disadari bahwa orang terpelajar pada zaman itu tidak semuanya mencoba melaksanakan pemilitian ilmiah seperti yang dipahami sekarang.
Demikianlah di Eropa dalam periode pertumbuhan yang melahirkan peradaban sekarang ini, ada sesuatu yang dapat disebut ilmu tetapi membutuhkan imajinasi antropologis untuk memahaminya.

Referensi:

Jerome, Revertz R. 2014. Filsafat Ilmu Sejarah dan Ruang lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar