Minggu, 04 Desember 2016

Moralitas dan Akal

Kasus bayi Theresa dapat melibatkan emosi tinggi. Perasaan seperti ini sering merupakan tanda dari seriusnya masalah moral dan karenanya patut di kagumi. Tetapi perasaan kuat semacam ini juga dapat menjadi penghambat untuk menemukan kebenaran. Jika kita merasakan emosi yang kuat terhadap suatu isu, maka muncul dugaan bahwa kita tahu manakah kebenaran yang sesungguhnya, bahkan tanpa harus mempertimbangkan argumentasi dari sisi lawan. Sayang, kita tidak dapat mengandalkan perasaan-perasaan kita, betapapun kuatnya perasaan ini. Pertama, karena mungkin hal itu irasional; semua itu bukan apa-apa selain dari hasil kecurigaan, penekanan kepentingan diri, atau pun pengondisian kultural. Lebih lanjut, perasaan orang yang berbeda-beda sering menyatakan kepada mereka persis sesuatu yang justru berlawanan.
Jadi jika kita mau menemukan kebenaran, kita harus mencoba membiarkan perasaan kita dibimbing sejauh mungkin oleh akal budi, atau argumentasi, yang bisa diberikan untuk melawan pandangan pandangan itu . Moralitas, pertama-tama dan terutama merupakan soal yang bertautan dengan akal; hal yang secara moral benar untuk dilakukan, dalam lingkup dari apapun juga, ditentukan oleh alasan-alasan terbaik yang ada untuk melakukannya.
Hal yang demikian ini tidak hanya berlaku untuk lingkup pandangan moral yang sempit, melainkan merupakan tuntutan umum dari logika yang harus diterima oleh setiap orang tak peduli posisi mereka dalam isu moral khusus manapun. Pokok yang dasariah boleh jadi dirumuskan dengan amat sederhana. Andaikata seseorang berkata bahwa anda harus melakukan hal ini atau hal itu (atau bahwa melakukan ini atau itu adalah salah), maka anda berhak untuk bertanya mengapa anda harus melakukan hal itu (atau mengapa itu keliru), dan jika tidak ada alasan yang baik yang diberikan, anda boleh menolak anjuran itu sebagai sesuatu yang tak berdasar.
Dengan cara demikian, keputusan keputusan moral dibedakan dari sekedar ungkapan dari selera pribadi. Jikalau seorang berkata "saya suka kopi," ia tidak perlu mempunyai alasan --- dia hanya membuat suatu pernyataan mengenai dirinya, dan tak lebih dari itu. Tak ada hal yang disebut "pembelaan secara rasional" dari kesukaan atau ketidak sukaan orang akan kopi. Maka tak ada perbantahan mengenai hal itu. Sejauh ini ia melaporkan dengan cermat seleranya, apa yang dikatakan sudah bias disebut benar. Lagipula, tak ada implikasi bahwa orang lain harus merasakan hal yang sama. Jika setiap orang lain di dunia membenci kopi, itu pun tak ada masalah. Tapi jika seseorang berkata bahwa suatu hal salah secara moral ia membutuhkan alas an alasan; dan jika alasan-alasannya jernih, orang lain harus mengakui kekuatan alasan itu. Sementara kalau ia tidak mempunyai alasan yang baik atas apa yang ia katakan, ia hanya bikin ulah dan kita tak perlu memberikan perhatian padanya.
Tentu saja, tidak setiap alasan yang dikemukakan merupakan alasan yang baik. Ada juga alasan yang buruk sebagaimana ada yang baik, dan kebanyakan dari keterampilan berpikir moral berupa membicarakan perbedaan antara keduanya. Tetapi orang menyatakan perbedaan itu, bagaimana kita harus menaksir argumentasinya, contoh-contoh diatas melukiskan beberapa pokok yang relevan.
Yang pertama adalah memperoleh faktanya langsung. Sering hal ini tidak mudah seperti kedengarannya. Salah satu sumber dari kesukaran itu adalah "fakta"-nya kadang kadang sulit dipastikan --- persoalannya mungkin begitu kompleks dan rumit sehingga para ahlipun tidak sepaham mengenai fakta itu. Persoalan lainnya menyangkut kecurigaan manusiawi. Sering kita bersedia untuk mempercayai beberapa versi dari fakta hanya karena hal itu mendukung prekonsepsi kita. Tetapi fakta itu ada terlepas dari keinginan kita dan pemikiran moral yang bertanggung jawab, berawal ketika kita mencoba melihat hal hal sebagaimana adanya.
Sesudah faktanya ditetapkan, dan sejauh dimungkinkan prinsip-prinsip moral diajukan untuk dimainkan. Dalam contoh bayi Theresa sejumlah prinsip diajukan: bahwa kita "tidak boleh menggunakan" orang; bahwa kita tidak boleh membunuh seseorang untuk menyelamatkan orang lain; bahwa kita harus melakukan apa yang menguntungkan orang yang terkena tindakan kita; bahwa setiap kehidupan itu suci; dan bahwa keliru untuk mendiskriminasikan orang-orang cacat. Kebanyakan argumen moral terdiri dari prinsip prinsip yang dikenakan pada fakta dari kasus kasus khusus. Maka pertanyaan yang paling jelas untuk diajukan adalah apakah prinsip prinsip itu benar dan apakah digunakan secara cerdik. Tetapi hal semacam ini tidaklah mengherankan. Penerapan metode yang sudah biasa di luar kepala tidak pernah menjadi penggantiyang memuaskan untuk inteligensi yang kritis di wilayah manapun. Tak terkecuali dalam pemikira moral.
Referensi:
Rachel, James. 2007. Filsafat Moral . Yogyakarta: Kanisus



Tidak ada komentar:

Posting Komentar