Kasus bayi
Theresa dapat melibatkan emosi tinggi. Perasaan seperti ini sering merupakan
tanda dari seriusnya masalah moral dan karenanya patut di kagumi. Tetapi
perasaan kuat semacam ini juga dapat menjadi penghambat untuk menemukan kebenaran.
Jika kita merasakan emosi yang kuat terhadap suatu isu, maka muncul dugaan
bahwa kita tahu manakah kebenaran yang sesungguhnya, bahkan tanpa harus
mempertimbangkan argumentasi dari sisi lawan. Sayang, kita tidak dapat
mengandalkan perasaan-perasaan kita, betapapun kuatnya perasaan ini. Pertama,
karena mungkin hal itu irasional; semua itu bukan apa-apa selain dari hasil
kecurigaan, penekanan kepentingan diri, atau pun pengondisian kultural. Lebih
lanjut, perasaan orang yang berbeda-beda sering menyatakan kepada mereka persis
sesuatu yang justru berlawanan.
Jadi jika
kita mau menemukan kebenaran, kita harus mencoba membiarkan perasaan kita
dibimbing sejauh mungkin oleh akal budi, atau argumentasi, yang bisa diberikan
untuk melawan pandangan pandangan itu . Moralitas, pertama-tama dan terutama
merupakan soal yang bertautan dengan akal; hal yang secara moral benar untuk
dilakukan, dalam lingkup dari apapun juga, ditentukan oleh alasan-alasan
terbaik yang ada untuk melakukannya.
Hal yang
demikian ini tidak hanya berlaku untuk lingkup pandangan moral yang sempit,
melainkan merupakan tuntutan umum dari logika yang harus diterima oleh setiap
orang tak peduli posisi mereka dalam isu moral khusus manapun. Pokok yang
dasariah boleh jadi dirumuskan dengan amat sederhana. Andaikata seseorang
berkata bahwa anda harus melakukan hal ini atau hal itu (atau bahwa melakukan
ini atau itu adalah salah), maka anda berhak untuk bertanya mengapa anda harus
melakukan hal itu (atau mengapa itu keliru), dan jika tidak ada alasan yang
baik yang diberikan, anda boleh menolak anjuran itu sebagai sesuatu yang tak
berdasar.
Dengan
cara demikian, keputusan keputusan moral dibedakan dari sekedar ungkapan dari
selera pribadi. Jikalau seorang berkata "saya suka kopi," ia tidak
perlu mempunyai alasan --- dia hanya membuat suatu pernyataan mengenai dirinya,
dan tak lebih dari itu. Tak ada hal yang disebut "pembelaan secara
rasional" dari kesukaan atau ketidak sukaan orang akan kopi. Maka tak ada
perbantahan mengenai hal itu. Sejauh ini ia melaporkan dengan cermat seleranya,
apa yang dikatakan sudah bias disebut benar. Lagipula, tak ada implikasi bahwa
orang lain harus merasakan hal yang sama. Jika setiap orang lain di dunia
membenci kopi, itu pun tak ada masalah. Tapi jika seseorang berkata bahwa suatu
hal salah secara moral ia membutuhkan alas an alasan; dan jika alasan-alasannya
jernih, orang lain harus mengakui kekuatan alasan itu. Sementara kalau ia tidak
mempunyai alasan yang baik atas apa yang ia katakan, ia hanya bikin ulah dan
kita tak perlu memberikan perhatian padanya.
Tentu
saja, tidak setiap alasan yang dikemukakan merupakan alasan yang baik. Ada juga
alasan yang buruk sebagaimana ada yang baik, dan kebanyakan dari keterampilan
berpikir moral berupa membicarakan perbedaan antara keduanya. Tetapi orang
menyatakan perbedaan itu, bagaimana kita harus menaksir argumentasinya,
contoh-contoh diatas melukiskan beberapa pokok yang relevan.
Yang
pertama adalah memperoleh faktanya langsung. Sering hal ini tidak mudah seperti
kedengarannya. Salah satu sumber dari kesukaran itu adalah
"fakta"-nya kadang kadang sulit dipastikan --- persoalannya mungkin
begitu kompleks dan rumit sehingga para ahlipun tidak sepaham mengenai fakta
itu. Persoalan lainnya menyangkut kecurigaan manusiawi. Sering kita bersedia
untuk mempercayai beberapa versi dari fakta hanya karena hal itu mendukung
prekonsepsi kita. Tetapi fakta itu ada terlepas dari keinginan kita dan
pemikiran moral yang bertanggung jawab, berawal ketika kita mencoba melihat hal
hal sebagaimana adanya.
Sesudah
faktanya ditetapkan, dan sejauh dimungkinkan prinsip-prinsip moral diajukan
untuk dimainkan. Dalam contoh bayi Theresa sejumlah prinsip diajukan: bahwa
kita "tidak boleh menggunakan" orang; bahwa kita tidak boleh membunuh
seseorang untuk menyelamatkan orang lain; bahwa kita harus melakukan apa yang
menguntungkan orang yang terkena tindakan kita; bahwa setiap kehidupan itu
suci; dan bahwa keliru untuk mendiskriminasikan orang-orang cacat. Kebanyakan
argumen moral terdiri dari prinsip prinsip yang dikenakan pada fakta dari kasus
kasus khusus. Maka pertanyaan yang paling jelas untuk diajukan adalah apakah
prinsip prinsip itu benar dan apakah digunakan secara cerdik. Tetapi hal
semacam ini tidaklah mengherankan. Penerapan metode yang sudah biasa di luar
kepala tidak pernah menjadi penggantiyang memuaskan untuk inteligensi yang
kritis di wilayah manapun. Tak terkecuali dalam pemikira moral.
Referensi:
Rachel,
James. 2007. Filsafat Moral .
Yogyakarta: Kanisus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar