Manusia merasa
heran dan bertanya. Jawaban atas pertanyaan ini tidak pernah selesai. Manusia
bersifat fana dan baka. Tidak mungkin Allah melepaskan seseorang yang
dipanggil-Nya. Pangglan-Nya aktual, sekarang, dan berhubungan dengan diriku
seluruhnya. Setiap saat manusia menjadi ciptaan yang baru.
Refleksi atas hukum evolusi yang ditemukan dalam
masa lampau mengatakan bahwa manusia juga sebagai jenis menuju kesatuan baru.
Dalam kesatuan baru itu keunikan masing-masing pribadi tidak boleh terhapus.
Proses evolusi seharusnya menjadi suatu proses “amorisasi. Hanya cintalah yang
memungkinkan manusia makin bersatu tanpa kehilangan keunikannya. Proses
“amorisasi” tidak berjalan secara
deterministis. Manusia ikut bertanggung jawab menjamin perjalanan menuju ke
kesatuan yang serba baru itu. Arah evolusi manjadi suatu seruan yang mengikat
secara etis. Orientasi ke arah kesatuan baru menjadi keharusan etis. Manusia
adalah seruan dan paradoks.
Saya akan
mencoba menjabarkan arti dari makhluk paradoksal yang didapat dai suatu sumber.
Pusatku terletak di luar aku. Perumusan ini bersifat paradoksal. Perumusan
paradoksal sering muncul dalam refleksi manusia atas dirinya. Paradoks tidak
sama dengan kontradiksi. Paradoks mengandung dua kebenaran yang bertentangan.
Kebenaran suatu paradoks terletak dalam kesatuan kedua kebenaran yang
bertentangan itu. Lain halnya dengan kontradiksi, kalau yang satu benar, yang
lain salah. Paradoks berhubungan dengan kekhasan kedudukan manusia di dunia ini.
Manusia termasuk dalam dunia alam, namun sekaligus bertransendensi terhadapnya.
Manusia bebas dan terikat, otonom dan tergantung, terbatas dan tidak terbatas,
individu dan person, duniawi dan illahi, rohaniah dan jasmaniyah, fana dan
baka. Manusia adalah makhluk paradoks.
Referensi:
Snijders, Adelbert. 2004. Antropolofi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan.
Yogyakarta: PT Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar